Akhlak dan Sekolah
Salah satu yang menjadi bahan
perbincangan ramai dalam RUU Seistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) adalah
rumusan tentang Pendidikan. Pada rancangan disebutkan bahwa tujuan pendidikan
adalah membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Ynag Maha Esa,
berakhlak, dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara
yang demokratis dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan
tanah air.
Beberapa pendapat memandang, rumusan
tersebut terlalu luas dan terlalu berat. Adapula yang berpendapat rumusan
pendidikan nasional seperti itu jauh berbeda dengan apa yang tercantum dalam
Pembukaan UUD 45 yang menyebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk
mencerdaskan bangsa.
Sejak dahulu pendidikan di negeri ini,
yang ditangani pemerintah, sering kali berbentuk aspirasi dan harapan
masyarakat, terutama jika sudah berbicara soal
akhlak. Misalnya, ketika para siswa yang tawuran di mana-mana, tidak
sedikit yang langsung menuding kurikulum sekolah menjadi sebabnya. Oleh karena
itu, ramailah orang mengusulkan agar di sekolah diajarkan kembali budi pekerti,
satu mata pelajaran yang sudah lama dihapus dari bangku sekolah.
Persoalannya memang tidak sesederhana
itu. Pada masa Orde Baru, misalnya, salah satu pelajaran penting (bahwa salah
satu yang paling penting) adalah PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Dari
namanyasaja sudah bisa ditebak apa yang menjadi materi nama pelajaran ini.
Namun, bagaimana hasilnya ? Ternyata sangat tragis karena pemerintah yang
mencantumkan PMP dalam kurikulum sekolah itu kemudian harus mundur secara paksa
akibat maraknya budaya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), yang justru sangat
berlawanan dengan moral Pancasila.
Pelajaran sejarah itulah yang kemudian
mendorong beberapa ahli pendidikan untuk berpikir lebih pragmatis, bahkan
spektis. Mereka melihat cangkupan bidang pendidikan sangat luas sehingga tidak
mungkin kalau beban seluruhnya ditimpakan ke sekolah atau lembaga pendidikan
formal.
Ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru.
Sejak awal kalangan masyarakat tidak sepenuhnya percaya pada lembaga pendidikan
formal. Salah satu alasannya karena ada persepsi dan kepentingan berbeda.
Masyarakat lebih percaya pada pendapat
ulama ketimbang orang-orang pintar lulusan sekolah. Sekolah dianggap hanya
mengajarkan ilmu-ilmu duniawi dan mengabaikan tuntunan tentang akhlak. Padahal,
pendidikan akhlak tidak bisa diabaikan begitu saja.
Karena sekolah dianggap tidak cukup,
anak-anak masih harus pula mengikuti pelajaran agama di surau-surau madrasah.
Upaya itu sebenarnya cukup ideal karena ingin mengabungkan ilmu pengetahuan dan
akhlak yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh manusia.
Barang kali dari sudut pandang seperti
itulah kita harus menempatkan RUU Sisdiknas yang sekarang banyak menimbulkan
silang pendapat. Jika RUU itu telah desepakati menjadi undang-undang, kita
mengharapkan lembaga pendidikan kita akan benar-benar penghasilkan lulusan yang
bisa dibanggakan.
Dikutip dengan pengubahan dari Tajuk
Rencana
Pikiran
Rakyat, 16 April 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar