Sabtu, 09 Juni 2012

Akhlak dan Sekolah


Akhlak dan Sekolah
Salah satu yang menjadi bahan perbincangan ramai dalam RUU Seistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) adalah rumusan tentang Pendidikan. Pada rancangan disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Ynag Maha Esa, berakhlak, dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.
Beberapa pendapat memandang, rumusan tersebut terlalu luas dan terlalu berat. Adapula yang berpendapat rumusan pendidikan nasional seperti itu jauh berbeda dengan apa yang tercantum dalam Pembukaan UUD 45 yang menyebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan bangsa.
Sejak dahulu pendidikan di negeri ini, yang ditangani pemerintah, sering kali berbentuk aspirasi dan harapan masyarakat, terutama jika sudah berbicara soal  akhlak. Misalnya, ketika para siswa yang tawuran di mana-mana, tidak sedikit yang langsung menuding kurikulum sekolah menjadi sebabnya. Oleh karena itu, ramailah orang mengusulkan agar di sekolah diajarkan kembali budi pekerti, satu mata pelajaran yang sudah lama dihapus dari bangku sekolah.
Persoalannya memang tidak sesederhana itu. Pada masa Orde Baru, misalnya, salah satu pelajaran penting (bahwa salah satu yang paling penting) adalah PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Dari namanyasaja sudah bisa ditebak apa yang menjadi materi nama pelajaran ini. Namun, bagaimana hasilnya ? Ternyata sangat tragis karena pemerintah yang mencantumkan PMP dalam kurikulum sekolah itu kemudian harus mundur secara paksa akibat maraknya budaya KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), yang justru sangat berlawanan dengan moral Pancasila.
Pelajaran sejarah itulah yang kemudian mendorong beberapa ahli pendidikan untuk berpikir lebih pragmatis, bahkan spektis. Mereka melihat cangkupan bidang pendidikan sangat luas sehingga tidak mungkin kalau beban seluruhnya ditimpakan ke sekolah atau lembaga pendidikan formal.
Ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Sejak awal kalangan masyarakat tidak sepenuhnya percaya pada lembaga pendidikan formal. Salah satu alasannya karena ada persepsi dan kepentingan berbeda.
Masyarakat lebih percaya pada pendapat ulama ketimbang orang-orang pintar lulusan sekolah. Sekolah dianggap hanya mengajarkan ilmu-ilmu duniawi dan mengabaikan tuntunan tentang akhlak. Padahal, pendidikan akhlak tidak bisa diabaikan begitu saja.
Karena sekolah dianggap tidak cukup, anak-anak masih harus pula mengikuti pelajaran agama di surau-surau madrasah. Upaya itu sebenarnya cukup ideal karena ingin mengabungkan ilmu pengetahuan dan akhlak yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh manusia.
Barang kali dari sudut pandang seperti itulah kita harus menempatkan RUU Sisdiknas yang sekarang banyak menimbulkan silang pendapat. Jika RUU itu telah desepakati menjadi undang-undang, kita mengharapkan lembaga pendidikan kita akan benar-benar penghasilkan lulusan yang bisa dibanggakan.

Dikutip dengan pengubahan dari Tajuk Rencana
Pikiran Rakyat, 16 April 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERTANYAAN DISKUSI

Pada kondisi bagaimana translasi mata uang asing mempengaruhi mata uang asing? Jawaban: Hubungan terbalik antara tingkat inflasi sebuah n...