Setiap pulang dari sekolah aku selalu dalam pekerjaan. Pekerjaan itu misalnya mengisi air di dapur atau membuat pekerjaan Bapak sebagai penambal ban. Meskipun Bapak selalu menekankan pentingnya pekerjaan itu bagiku, sampai kapan pun rasanya sungguh aku tidak akan melukai pekerjaan sebagai tukang tambal ban.
Ibu juga orang yang senang bekerja, mencari uang untuk kami dan anak-anaknya. Tetapi berbeda dengan Bapak, Ibu rupanya lebih senang berdagang. Dagang tersebut ada hubungannya dengan makanan dan masak-masakan.
“Supaya kalian kenyang dan tak usah jajan di luar,” begitu Ibu menerangkan kepada kami.
Ibu rupanya sangat berbakat dagang. Apapun yang di jual nya selalu laris sehingga ada saja pikiran Ibu untuk mencari jenis dagangan lain. Bosan berjualan goreng-gorengan, ganti dengan buah-buahan. Lalu, ganti lain dengan berjualan rujak dan gado-gado. Ganti lagi jualan es. Apabila bulan puasa, Ibu menjual kurma.
Sebagai anak nomor tiga, seharusnya pekerjaanku membantu orang tua tidak terlalu berat. Akan tetapi, harapan itu akan tetap menjadi harapan sia-sia. Kakak pertama setiap pulang sekolah harus selalu siap mendampingi Bapak. Kakak yang nomor dua, perempuan, setiap pulang sekolah harus membantu Ibu berjualan. Apabila aku, ternyata selain harus membantu Bapak, juga harus membantu Ibu.
Sampai aku duduk di kelas 2 SMP ternyata pekerjaanku membantu orang tua tidak bertambah ringan karena aku juga berjualan koran. Dapat dipastikan penjual koran di kota ku yang pertama kali adalah aku, satu-satunya. Untuk itu, aku punya kebanggaan tersendiri. Aku tidak malu membawa setumpuk koran ke pasar dan menjajakannya kepada setiap orang yang ku temui. Bahkan, ke toko-toko kepunyaan orang tua teman-temanku, aku tidak peduli. Pokoknya koranku laku dan mendatangkan uang. Itu saja.
Aku sendiri merasa bahwa aku adalah anak orang miskin sebab aku tidak pernah punya uang untuk jajan. Satu-satunya jajan untuk punya uang adalah kerja di bengkel membantu Bapak menambal ban atau berjualan koran itu.
Aku makin merasa bangga sebagai penjual koran ketika Bapak berkata, “Kamu harus belajar betapa susahnya mencari uang itu. Kamu juga mempunyai kesempatan mempelajari banyak orang sehingga kamu tidak hanya terkurung di rumah, membantu ini itu yang mungkin tidak kamu sukai. Kamu harus bangga dengan pekerjaanmu. Jangan pedulikan omongan orang lain. Itu godaan, menguji apakah kamu cukup tabah atau tidak.”
Setiap hari sepulang jualan koran, sehabis mandi, aku selalu membaca koran yang baru aku kembalikan ke agen esok harinya. Aku jadi hafal nama semua menteri. Aku jadi mendapatkan gambaran berbagai peristiwa yang terjadi saat itu. Aku juga dapat menggambarkan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang sangat luas. Aku jadi menyadari bahwa apa yang kulihat dalam kehidupan sehari-hari ini ternyata hanya sebagian kecil dari gambaran kekayaan kehidupan yang sebenarnya.
Kehidupan keluarga kami memang terus berkembang baik. Ibu sekarang sudah mempunyai kedai makanan yang bersih dan ramai dikunjungi orang. Bapak sudah dapat mendirikan bengkel. Pekerjaan Bapak bukan lagi hanya menambal ban, tetapi juga memperbaiki sepeda dan peralatan rumah tangga, misalnya kompor.
Hingga suatu saat terjadilah peristiwa yang sengat tidak kami harapkan. Aku tercengang dan merasa sangat heran bahwa perubahan nasib dapat terjadi secepat itu. Bapak sebagai salah satu sosok penyangga kehidupan keluarga kami meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Itu terjadi sepulang Bapak berbelanja onderdil sepeda di pasar. Mobil itu, kata orang yang melihatnya, tidak terlalu kencang lajunya. Akan tetapi, Bapak rupanya terpelanting dan kepalanya membentur aspal. Kami tidak tidak tahu siapa yang bersalah. Yang pasti kami merasa sangat kehilangan Bapak.
Kebiasaan kami kerja keras, Bapak yang suka memarahi kami apabila kami tampak duduk-duduk atau bermain ternyata memberikan hikmah juga. Memang kami merasa kehilangan. Akan tetapi, kami tidak pernah mempunyai keinginan untuk menyerah. Ibu dengan tekun melanjutkan jualan di kedai makanannya. Di sana Ibu sekarang juga menjajakan kue-kue buatan kakak.
Kakakku yang sulung setiap pulang sekolah membuka bengkel. Karena sebelumnya selalu rajin membantu almarhum Bapak, dia tidak canggung menangani pekerjaan itu. Saya sendiri masih melanjutkan jualan koran. Selain sekarang sudah mulai banyak teman yang ikut-ikut jualan koran, saya merasa bahwa untuk menuju kehidupan yang lebih baik orang tidak cukup apabila hanya menjadi penjual koran.
Dikutip dengan pengubahan dari Mencoba Tidak Menyerah, Yudhistira A. N. M. Massardi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar