Senin, 19 Maret 2012

Industri Konfeksi di Tulungagung Hadapi Lesunya Pasar

Industri Konfeksi di Tulungagung Hadapi Lesunya Pasar
Tulungagung, Kompas – para pengusaha kompeksi pakaian dalam di Desa Beji, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung mengeluhkan lesunya pasar. Hal itu terjadi akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan ditambah peristiwa meledaknya bom di Bali pada tanggal 12 Oktober 2002.
Kelesuan pasar itu terlihat dari makin merosotnya omzet penjualan hingga mencapai 50 persen. Salah seorang produsen, Ratna Sunaryo (46), yang di hubungi di Tulungagung, Rabu (26/2), mengatakan akibat sepinya permintan ia terpaksa menumpuk produk hingga beberapa minggu.
“Biasanya barang sudah habis dalam tiga hari. Dalam beberapa bulan terakhir ini kondisi bertambah parah lantaran penurunan pesanan juga terjadi pada para penjual eceran langanan saya. Biasanya seminggu sekali mereka mengambil barang untuk dijual dipasar-pasar yang ada di Malang, Kendiri, Madiun, Surabaya, dan Pasuruan. Akibatnya sepi pembeli, mereka baru datang memesan lagi sepuluh hari kemudian,” ujar Ratna.
Salah seorang pelanggan, Ratna Sunari (26), mengaku terpaksa kehilangan omzetnya hingga 50 persen. Selain lantaran turunya pembelian eceran, kerugian juga disebabkan menumpuknya barang.
“Biasanya per minggu omzet saya mencapai Rp 22 juta. Sekarang ini bisa mendapatkan Rp 11 juta saja sudah sulit sekali. Belum lagi pengeceran langganan saya terpaksa berutang lantaran stok barang tidak terjual,” ujar Sunari.
Sementara itu, Ratna baersama suaminya, Sunaryo, sudah sejak tahun 1980 merintis usaha koneksi khusus pakaiandalam wanita, anak-anak, dan pria. Saat ini selain menampung dari beberapa pengusaha konfeksi, Ratna juga mampu memproduksi rata-rata 300 kodi pakaian dalam.
Jika ditambah dengan jumlah produksi dari beberapa pengusaha konfeksi lain, volume produksi perusahaan Ratna mencapai 600 kodi per hari. Satu kodi setara dengan 20 potong pakaian dalam.
“Jika dibanding dengan kondisi saat pertama kali krisis, keadaan sekarang jauh lebih buruk. Sekitar tahun 1997 dan 1998 pesanan malah melimpah dan harga tinggi. Beberapa pun yang kami produksi, psar selalu menyerap,” ujar Ratna.
Akan tetapi, lanjut Ratna, sejak tahun 1999 keadaan berubah menjadi buruk. Puncak kelesuan pasar terjadi pada tahun 2000 ketika jumlah pesaing semakin bertambah sementara jumlah pesanan terus berkurang. Setelah peledakan bom di Bali, pesanan dari pulau dewata itu berhenti secara total.

Dikutip dengan perubahan dari Kompas 27 Febuari 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERTANYAAN DISKUSI

Pada kondisi bagaimana translasi mata uang asing mempengaruhi mata uang asing? Jawaban: Hubungan terbalik antara tingkat inflasi sebuah n...