Kamis, 19 Desember 2013

Belajarlah dari Sistem Zakat

Subsidi BBM tidak lepas dari upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Oleh karena itu, menurut Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), Jaih Mubarok, apakah ada subsidi atau tidak, yang penting relevan dengan kaidah tasharuf al-imam’ala al-ra’iyah manuth bi al-mashlahah (keputusan pihak otoritas yang terkait dengan kehidupan rakyat harus selalu mempertimbangkan nilai manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat).

Jaih menjelaskan dirinya tidak pernah membaca literatur bersumber dari Al-Quran dan Sunnah yang secara langsung menjelaskan tentang subsidi BBM. Namun dalam konteks ekonomi kontemporer, seorang ahli bernama Athiyah Adlan Athiyah Ramadhan menjelaskan kaidah bahwa harga ditetapkan atas dua prinsip yaitu al-huriyah (harga ditetapkan oleh mekanisme pasar), dan al-masyur’iyyah (harga ditentukan oleh pihak otoritas/pemerintah). “Benda-benda yang menyangkut hajat hidup orang banyak seharusnya otoritas-lah yang menentukan harganya. Jadi pihak otoritas boleh menentukan harga BBM dengan mengabaikan biaya proses produksinya, “kata Jaih.

Ia menuturkan secara umum harga suatu barang merupakan hubungan antara biaya produksi plus distribusi berikut keuntungan yang diharapakan. Tema subsidi berhubungan dengan penyaluran dana pihak otoritas kepada pihak yang melakukan produksi suatu barang sebagai “upaya” agar harga barang yang dihasilkan terjangkau oleh masyarakat umum. “Saya berpendapat bahwa subsidi adalah suatu kebijakan ekonomi yang baik sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Quran Sunnah, katanya

Jaih menyampaikan bahwa pola subsidi dapat dilihat pada ajaran Islam tentang zakat, di mana zakat dikumpulkan dari para aghniya’ (orang/pihak yang mampu) dan diberikan baik langsung maupun tidak langsung kepada mustadh’afin (orang-orang lemah). Lebih lanjut, Jaih menjelaskan bahwa dalam konteks ekonomi negara, dalam islam dikenalkan pula beberapa instiusi/pranata yang relevan selain zakat, di antaranya kharaj, fai’,ghanimah, dan iqtha’.

Dalam konteks Indonesia, pemerintah memungut pajak dari para wajib pajak di mana dana pajak tersebut dikelola dan disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan. “Oleh karena itu, penerima subsidi kiranya layak diajukan bahwa pihak utama yang berhak menerima subsidi adalah pihak musthadh’afin, lalu pihak-pihak lainnya yang relevan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang logis dan arif, “kata Jaih.

Berdasarkan konstitusi Indonesia, hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak memang dikuasai dan dikelola oleh negara, termasuk pengelolaan BBM. Oleh karena itu, menurut Jaih, pengelolaannya pun harus disesuaikan dengan tujuannya.

Dalam konteks jangka pendek adalah bagaimana pendapatan negara diarahkan sebesar-besarnya untuk memakmurkan warga negara. Sedangkan, dalam konteks jangka panjang negara harus bekerjasama dengan pihak perguruan tinggi dan pihak-pihak terkait lainnya untuk melakukan riset yang tepat guna untuk menghasilkan sejumlah energi alternatif yang inovatif.

“Jika ini dilakukan, insyaallah Indonesia tidak akan mengalami krisis bahan bakar, karena di Indonesia terdapat sumber-sumber energi yang selalu tersedia, di antaranya gas bumi, sampah, angin, dan matahari, “cetus Jaih.

Ia tak menampik saat ini terjadi selisih minus antara BBM yang dihasilkan dengan kebutuhan masyarakat terhadap BBM. Menurut Jaih, hal ini terjadi karena Indonesia lalai di mana pada masa jayanya pernah menjadi eksportir BBM ke negara-negara lain saat surplus BBM. “Siapa pun yang menyelenggarakan negara ini, saya kira pengelolaan BBM yang dilakukan kurang lebih sama.





Sumber : Majalah SHARING inspirasi ekonomi & bisnis syariah Edisi 78 tahun VII Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PERTANYAAN DISKUSI

Pada kondisi bagaimana translasi mata uang asing mempengaruhi mata uang asing? Jawaban: Hubungan terbalik antara tingkat inflasi sebuah n...