Subsidi BBM
tidak lepas dari upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Oleh karena itu, menurut Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
(DSN MUI), Jaih Mubarok, apakah ada subsidi atau tidak, yang penting relevan
dengan kaidah tasharuf al-imam’ala
al-ra’iyah manuth bi al-mashlahah (keputusan pihak otoritas yang terkait
dengan kehidupan rakyat harus selalu mempertimbangkan nilai manfaat
sebesar-besarnya bagi rakyat).
Jaih
menjelaskan dirinya tidak pernah membaca literatur bersumber dari Al-Quran dan
Sunnah yang secara langsung menjelaskan tentang subsidi BBM. Namun dalam
konteks ekonomi kontemporer, seorang ahli bernama Athiyah Adlan Athiyah
Ramadhan menjelaskan kaidah bahwa harga ditetapkan atas dua prinsip yaitu al-huriyah (harga ditetapkan oleh
mekanisme pasar), dan al-masyur’iyyah
(harga ditentukan oleh pihak otoritas/pemerintah). “Benda-benda yang menyangkut
hajat hidup orang banyak seharusnya otoritas-lah yang menentukan harganya. Jadi
pihak otoritas boleh menentukan harga BBM dengan mengabaikan biaya proses
produksinya, “kata Jaih.
Ia
menuturkan secara umum harga suatu barang merupakan hubungan antara biaya
produksi plus distribusi berikut keuntungan yang diharapakan. Tema subsidi
berhubungan dengan penyaluran dana pihak otoritas kepada pihak yang melakukan
produksi suatu barang sebagai “upaya” agar harga barang yang dihasilkan
terjangkau oleh masyarakat umum. “Saya berpendapat bahwa subsidi adalah suatu
kebijakan ekonomi yang baik sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Al-Quran Sunnah, katanya
Jaih
menyampaikan bahwa pola subsidi dapat dilihat pada ajaran Islam tentang zakat,
di mana zakat dikumpulkan dari para aghniya’
(orang/pihak yang mampu) dan diberikan baik langsung maupun tidak langsung
kepada mustadh’afin (orang-orang
lemah). Lebih lanjut, Jaih menjelaskan bahwa dalam konteks ekonomi negara,
dalam islam dikenalkan pula beberapa instiusi/pranata yang relevan selain
zakat, di antaranya kharaj, fai’,ghanimah,
dan iqtha’.
Dalam
konteks Indonesia, pemerintah memungut pajak dari para wajib pajak di mana dana
pajak tersebut dikelola dan disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan.
“Oleh karena itu, penerima subsidi kiranya layak diajukan bahwa pihak utama
yang berhak menerima subsidi adalah pihak musthadh’afin,
lalu pihak-pihak lainnya yang relevan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
yang logis dan arif, “kata Jaih.
Berdasarkan
konstitusi Indonesia, hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak memang
dikuasai dan dikelola oleh negara, termasuk pengelolaan BBM. Oleh karena itu,
menurut Jaih, pengelolaannya pun harus disesuaikan dengan tujuannya.
Dalam
konteks jangka pendek adalah bagaimana pendapatan negara diarahkan
sebesar-besarnya untuk memakmurkan warga negara. Sedangkan, dalam konteks
jangka panjang negara harus bekerjasama dengan pihak perguruan tinggi dan
pihak-pihak terkait lainnya untuk melakukan riset yang tepat guna untuk
menghasilkan sejumlah energi alternatif yang inovatif.
“Jika ini
dilakukan, insyaallah Indonesia tidak akan mengalami krisis bahan bakar, karena
di Indonesia terdapat sumber-sumber energi yang selalu tersedia, di antaranya
gas bumi, sampah, angin, dan matahari, “cetus Jaih.
Ia tak
menampik saat ini terjadi selisih minus antara BBM yang dihasilkan dengan kebutuhan
masyarakat terhadap BBM. Menurut Jaih, hal ini terjadi karena Indonesia lalai
di mana pada masa jayanya pernah menjadi eksportir BBM ke negara-negara lain
saat surplus BBM. “Siapa pun yang menyelenggarakan negara ini, saya kira
pengelolaan BBM yang dilakukan kurang lebih sama.
Sumber : Majalah SHARING inspirasi ekonomi & bisnis
syariah Edisi 78 tahun VII Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar